Sabtu, 07 Oktober 2017

SAMPAI KAU TERTIDUR

SAMPAI KAU TERTIDUR


Aku terbangun dengan perasaan yang tidak bisa ku jelaskan pagi hari ini, dan berharap bahwa semua itu hanya mimpi, ya hanya mimpi. Hanya sebuah mimpi.
Aku terus-menerus mengulang kalimat tersebut seperti kaset rusak.

“Ma ? Pa ?”

Hening,
Aku tidak pernah tahu bahwa rumah ku yang biasa ramai dengan kehangatan tawa canda abang dan kakak ku serta suara merengek adik ku jadi begitu hening, mama biasa memasak pagi hari untuk sarapan bersama, biasanya indra penciuman ku sudah akan langsung disuguhi oleh wangi masakan mama dan harum kopi papa.
Tidak ada siapa-siapa dirumah, apa mereka semua pergi ninggalin aku sendiri ?

"Kakak? Kak Lis..?"

"Abang Win? Bang..?"

"Dek.. Ade Doni..?"

"Mama..?"

"Papa..?"

Aku mencoba memanggil seluruh anggota keluarga ku namun tak jua ada jawaban dari mereka hanya hening yang menjawab setelah gema suaraku mengisi seisi rumah.
Kemana sih mereka?
Apa mereka sedang pergi?


***

“Nadia.. Nadia..”

Seseorang memanggil namaku.
Siapa pemilik suara itu?
Rasanya begitu jauh, aahh tidak begitu jauh lagi, kamu siapa?
Kenapa wajah kamu begitu samar?
Kamu bicara apa?
Kenapa suara kamu terdengar begitu khawatir?

ARrrgghh...
Kepalaku sakit sekali.
Tolong, kepalaku sangat sakit.
Aku mencoba menggapai wajah orang tersebut, namun belum sempat ku gerakkan tanganku, kegelapan mulai menguasai penglihatanku.


                                                ***

“Nadia!”

Senyum riang Ayu menyapa di pagi hari yang dingin, dinding sekolah ikut dingin lantaran hujan yang tidak berhenti dari subuh.

“Lagi mikirin apa sih? Serius banget, udah selesai bikin tugas belom?

Aku tersenyum mengerti maksud dari pertanyaan Ayu, aku pun mengambil buku tugas sejarah dari tas dan menyerahkannya ke Ayu, Ayu tersenyum riang.
Dengan segera dia mengambil buku tugas tersebut dari tanganku.
Aku mulai mengedarkan pandanganku dan melihat langit-langit, papan tulis, wajah-wajah yang ku kenal ada dijarak pandangku.
Mereka teman-teman sekolahku.
Saat ini aku sedang disekolah?
Mungkin jam istirahat, karena hanya ada segelintir teman-teman yang sedang asik mengobrol satu sama lain, ada juga yang sedang makan roti, dan ada yang sedang berkelakar didepan papan tulis menirukan guru killer Sejarah saat memberikan tugas, diikuti dengan gelak tawa teman dibelakangnya.

“Nanti gue traktir baso pak gondrong”

Suara riang Ayu membuatku kembali memandang wajah cantik disebelahku yang kini sedang menyalin tugas dari buku yang kupinjamkan.
Aku menganggukkan kepalaku pelan mengisyaratkan menyetujui tawarannya tersebut dan aku mulai merebahkan kepalaku diatas meja tulis yang dingin dan mulai meringis kesakitan karena aku mulai merasakan sakit yang tidak bisa ku jelaskan dikepalaku. Anemia ku kambuh lagi? Bukan, bukan, ini lebih sakit dari anemia.
Kenapa rasanya sangat sakit sekali.?

***

“Sayang, bangun yuk, nanti kamu terlambat kesekolah lho”

Aku terbangun dari tidur dengan keringat yang membasahi hanpir seluruh baju tidurku.
Aku melirik jam disamping tempat tidur menunjukkan angka 05.30

“SAYAAANG.. ayo turun nak..”

Itu suara mama memanggil dengan suara keras namun terdengar lembut di telingaku.

“Ma, jangan keras-keras dong manggilnya.”

Itu suara abang Winner sedang menggerutu mendengar suara keras mama memanggilku, biasanya abang selalu bicara agak kasar dan ketus sama mama tapi mama malah senyum-senyum saja dan malah meledek abang menanggapi gerutu dan keketusan abang, karena mama tahu anak sulungnya itu berhati lembut dan sangat sayang kepada keluarga.
Pernah suatu waktu mama tidak angkat telephone abang yang baru saja bekerja di perusahaan tambang karena tertidur di ruang tamu lelah menunggu kami pulang dari supermarket dekat rumah, abang langsung bergegas pulang dari kantor padahal itu masih pukul 15.00 dan mendapati mama tertidur disofa dengan satu tangannya menjulur jatuh disampingnya, abang mulai panik ketika mama tidak juga bangun setelah dipanggil, abang pun mulai mengguncang-guncang tubuh mama sambil menangis karena khawatir mama pingsan dirumah sendiri bahkan abang mengira mama sudah tiada.
Hampir saja abang menelepon ambulance jika mama tidak bangun dan memanggil nama abang. 
Mama memang agak sulit dibangunkan apabila sudah tertidur pulas.
Aku, kak Lis, ade dan papa ikut tertawa mendengar cerita mama, yang pada hari itu kami memang sedang diajak papa ke supermarket dekat rumah untuk sekedar jajan dan beli cemilan untuk dirumah.
Mama selalu mengulang cerita tersebut jika abang mulai ketus yang hanya bisa dibalas abang dengan memonyongkan bibirnya.

“Masak apa ma?”

Itu suara cempreng ka Lisa, walau makan dengan porsi paling banyak dirumah dan selalu makan cemilan terutama cake buatan mama tapi badannya gak pernah gemuk, kadang aku iri sama kelebihannya yang satu itu.

“Mamaaa, adek mau bekalnya dikasih brokoli.”

Adik ku yang paling kecil, Doni mulai merengek kalau sudah menginginkan sesuatu.

“Emang adek tahu brokoli itu kayak apa?”

Kak Lisa bertanya dengan nada meledek, senang menjahili adik bungsu laki-laki paling manja dan mudah percaya dengan cerita kak Lisa.
Pasti mau bikin cerita yang aneh-aneh deh ini si kakak.

“Kata Ridwan, dia bisa rangking satu karena mama nya masakin brokoli. Adek mau makan brokoli biar rangking satu kayak Ridwan.”

Jawabnya riang nan polos ala anak kecil namun penuh ambisi dilontarkan oleh Doni. membuat seluruh ruangan tersebut dipenuhi gelak tawa. Papa pernah menjanjikan jika Doni bisa rangking satu dikelasnya maka papa akan membelikan sepeda baru beserta satu mainan robot Gundam.

Kak Lisa ikut tertawa mendengar jawaban polos adik laki-lakinya yang masih duduk dikelas 5 SD Nusa Bangsa, kecuali Doni yang bingung dengan alasan kenapa semuanya tertawa setelah mendengar jawabannya namun karena gelak tawa tersebut berlangsung cukup lama, detik berikutnya Doni ikut tertawa renyah.

“Anak papa sudah besar ternyata.”

Suara berat papa yang bijaksana terdengar ditengah gelak tawa memuji anak bungsunya, kemudian papa menepuk lembut kepala Doni membuat Doni semakin bangga akan dirinya sendiri dan melupakan kebingungannya.
Kebiasaan papa di meja makan sebelum semua anaknya berkumpul yaitu membaca Koran pagi, melihat fluktuasi mata uang dan saham sedikit melirik sedikit tentang berita terkini keadaan masyarakat dan apabila semua anaknya sudah berkumpul dimeja makan papa akan melipat Koran tersebut dan memulai sarapan pagi dengan berdo’a bersama, setelah berdo'a ditengah sarapan papa akan bertanya tentang kegiatan masing-masing anaknya, bahkan mama juga ditanya kesehariannya.

“Lho, kakak kok berdiri aja disitu? Sini sarapan.”

Suara lembut Mama menyapaku yang hanya berdiri menatap mereka.
Papa, Abang, Kakak dan Adik langsung melihat kearahku diiringi dengan senyum cerah mereka.
Ada gelitik rindu saat melihat mereka tersenyum, menelisik masuk kedalam palung hatiku.
Ah iya, kenapa aku malah berdiri saja disini?
Sejak kapan sudah berdiri disini?
Bukannya aku masih dikamar tidur tadi?
Kenapa kalian jadi berbayang dan menjauh?
Pertanyaan demi pertanyaan bertubi-tubi menyerbu masuk kedalam fikiranku, namun tak jua mendapatkan jawaban dari mereka.
Mereka hanya tersenyum melihat kearahku, aku mulai menggerakkan tanganku berusaha untuk menggapai mereka namun bayangan tersebut semakin menjauh.

“Ma.. Pa.. ?”

Lho suara ku tidak keluar?

"Abang.. Kakak.. ?"

"Dek.. Adek Doni...?"

Aaahhh kepalaku mulai sakit lagi, apa anemia ku kambuh lagi?

***

“Nadia.. Nadia..”

Siapa?
Siapa yang memanggil nama ku?
Kenapa suaranya sesedih itu?
Sedih?  
Kenapa sedih?

***

“Nadiaaa.. nih baso nya?”

Seseorang menyodorkan semangkuk penuh baso kearahku yang wangi khasnya langsung memenuhi indra penciumanku.

Baso?
Hooo.. ini Ayu teman sekelas ku, dia bilang mau traktir aku tadi.

“Ayo dong dimakan, jangan bengong aja.”

Aku melemparkan senyum ramah ke Ayu dan mulai memakan baso pak gondrong yang terkenal enak seantero kantin sekolah.

“Eh Nad, gimana  kalau besok kita belajarnya di rumah kamu aja? Sekalian bisa ketemu sama abang kamu yang kece itu lho, terus nanti….”

Ayu mulai membuka obrolan dan dengan riang serta sangat bersemangat terdengar sekali di nada suaranya dia sangat ingin belajar di rumahku karena Ayu memang naksir abang sejak pertama kali datang kerumah karena kelompok belajar. 
Duh, kepala aku sakit lagi, kamu ngomong apalagi sih Yu? Terus nanti ? apalagi kelanjutannya?
Kepalaku sangat sakit.

***
“Nadia…”

Ahhh suara itu lagi..
 Kamu siapa sih?
 Kamu yang selalu memanggil nama ku dengan kekhawatiran.?

Aku mulai membuka mataku perlahan, karena rasanya berat sekali untuk membuka kelopak mata ini serta rasa nyeri yang kurasakan begitu nyata dan bertambah parah.
Pertama kali yang kulihat saat ini adalah langit-langit berwarna putih.

“Nadia?”

Seorang pria yang tidak kukenal memandang kearahku dengan tatapan khawatir, dari suaranya yang bergetar ku dengar ada perasaan lega disana.

“.... Ka .. mu ... siapa?”

Aku bisa mengeluarkan suara?
Apa pria itu dengar?
Sepertinya suaraku sangat pelan.
Aku haus.
Pria itu perlahan melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, sedangkan aku sama sekali tidak bisa merasakan badanku, bahkan aku tidak dapat merasakan betapa kencangnya genggaman tangan lelaki tersebut.
Terakhir yang kuingat beberapa orang berpakaian berwarna putih-putih datang dan menghampiriku dengan tergesa.
Pandanganku mulai tidak fokus sebelum akhirnya jatuh kedalam kegelapan yang panjang.

***

“Hai, kamu Nadia kelas IPS 3 kan?”

Siapa?
Suaranya terdengar tidak asing ditelinga, 
lagi-lagi perasaan rindu menyusup masuk kedalam hatiku saat aku mendengar suaranya.

“Radith, IPA 1”

Tangannya yang menjabat tanganku begitu hangat, tunggu, dia berkeringat? Padahal wajahnya terlihat begitu tenang, namun ada setetes keringat meluncur turun dari keningnya.
Kupandangi langit hari itu.
Apakah cuaca begitu panas?
Yang ku lihat saat itu matahari sedang menutup dirinya dibalik awan kelabu, angin dingin menyapa pipiku dengan lembut sampai aku menutup mataku karena rasa sejuknya membuat badanku sangat rileks.
Kupandangi lagi wajah laki-laki ini yang mengaku bernama Radith.
Lagi-lagi ada tetesan air jatuh dari keningnya.
Apakah hujan mulai membasahi bumi?
Aku mencoba merasakan air hujan dengan sebelah tanganku yang bebas namun tak jua kurasakan rintik hujan.
Laki-laki itu tersenyum makin lebar sambil memperlihatkan giginya yang putih dengan taring gingsulnya, tatapan matanya yang tajam lurus memandang mataku membuat ku tidak nyaman.
Sebuah sinyal tanda bahaya tak kasat mata pun berdering dikepalaku.
Membuatku bergidik ngeri namun tak bisa ku pergi dari tempatku bahkan tak bisa kulepas genggaman tangannya.

***

Breaking news
“Terjadi pembunuhan sadis yang menewaskan satu keluarga.
di kompleks xxx di jalan setia budi,
satu-satunya korban selamat masih tidak sadarkan diri
dan dirawat sebagai satu-satunya saksi mata dalam peristiwa
naas tersebut,
sampai saat ini pelaku kejahatan belum diketahui keberadaannya serta motif kejahatannya.
Karena sampai berita ini diturunkan polisi tidak menemukan barang curian yang diambil oleh pelaku serta belum ditemukannya jejak pelaku pada kamera cctv yang terpasang dirumah tersebut.
Polisi menghimbau untuk warga sekitar tetap waspada dan segera melapor jika ada aktivitas yang mencurigakan..." 

Berita selanjutnya  .................”



FIN


Senin, 07 Agustus 2017

KAMU


menyatakan perasaan padamu itu adalah..
hal terberani yang kulakukan saat ini..
aku yang pengecut ini, setidaknya mencoba untuk lebih jujur pada hati..
karena perasaan ini tidak salah..
keberanianku untuk mencintaimu
dan bersikap jujur..
serta melepaskanmu adalah sebuah keharusan..
memperbincangkanmu dengan Tuhan adalah hal terasik yang kunikmati di tiap do'a malamku..
karena itu kamu..
seseorang yang membuat hari ku tersenyum ceria seperti matahari pagi..
dan tersenyum sendu seperti matahari senja..

Jumat, 01 Januari 2016

Can't Say I Love You



Hay.! Kenalin nama gue Cerny, sebenernya emak gue pngen namain gue Cerry karena pas gue lahir emak gue lagi suka banget sama buah cerry apalagi sekarang ada anggota girlsband dengan nama cerry.. emak gue bakal nonton dibarisan pertama gak mau kalah sama anak muda jaman sekarang. Entah pak erte yg salah ngetik jadi ditulislah nama gue Cerny.

Yak singkatnya begitulah sedikit sejarah gak penting dari asal-usul nama gue sekarang.
Jujur aja ini bukan kisah yang wah banget, jadi gue pikir kalian gak perlu baca deh, gue gak bisa jamin klo kalian bosen dengan cerita pas-pasan yg bakal gue certain ini. Tapi klo kalian maksa yaa gak apa-apa deh.

Gue bukan anak orang kaya juga bukan yang miskin-miskin amet, dibilang sederhana juga enggak, yaa prinsip di keluarga gue klo ada uang hari ini dan bisa makan enak hajar aja, besok cari lagi rezeky yang ada hidup hanya satu kali jangan disia-siain. Dan otak gue yang pas-pasan cuma bisa sekolah negeri bukan favorite yang selalu didambain para ibu-ibu sama anak mereka, kata emak gue yang penting gak ada angka merah.

Nah pas semester 2 kelas 7 waktu pengambilan raport ada warna yang jadi tabu di keluarga gue nongol, otomatis emak gue bolak-balik mandangin gue dan buku raport yang ada ditangan dia, karena pada jaman itu gue yang cuek tanpa punya satu pun teman cuma bisa bilang sama emak,
            “ Kan naek kelas Mak. Hehe..” 

Emak gue yang kaget denger ucapan gue langsung bilang 


            “  Iya yang penting naek kelas.”

Besoknya gue langsung dilesin sama Emak gue, gak ada lagi waktu senggang maen SEGA pulang sekolah, karena pulang sekolah udah ditungguin di gerbang sama Bapak gue, langsung ke tempat LES, pulang LES waktu udah menunjukkan pukul 4 Sore dan Bapak gue udah jemput di pintu tempat LES sambil curhat kelakuan Emak yang nyuruh jemput gue selalu dari pulang sekolah sampai ke tempat LES dan itu jadi rutinitas setiap hari sampai gue lulus sekolah. Let me Say goodbye to manga, novel, anime, Figurine (Ha Ha Ha). Gue ngerasa hari-hari itu adalah akhir dari hidup gue sebagai ottaku. (Tapi ternyata itu bukan akhir.)

Efeknya gue masuk ke SMA Negeri favorite no. 2 se Jakarta pada masa itu, otak gue yang isinya cuma maen games, baca manga, nonton anime, baca novel ngerasa gak sanggup ada di level kelas tinggi, malas berusaha dan beradaptasi kayak orang 'Normal' pada umumnya dengan say hi dan mencari 'Cinta' atau sekedar teman dekat, gue pun kembali menyia-nyiakan masa SMA gue dengan tenggelam pada buku, (maap bukan buku pelajaran. Jujur aja gue masih bego dengan Matematika dan dapat nilai bagus di Fisika dan Bahasa Indonesia.) tanpa teman dekat, tanpa pacar, (karena emang malas) tapi gue punya mimpi.. iya mimpi itu..

Kelas 11 semester 1.

Tampang cupu, berkaca mata tebel, rambut panjang sebahu yang selalu gue kuncir kuda dan poni yang menutupi bingkai atas kacamata, seragam kemeja putih yang longgar selalu dimasukin ke rok abu-abu di bawah lutut lima cm, selalu bawa kamus tebel bahasa Jerman dan buku novel, tapi nilai pas-pasan, makhluk super cupu itu naek ke lantai 2 sambil menunduk seperti orang yang lagi nyari duit cepean logam di anak tangga gedung sekolah, yups makhluk itu gue, jaman dulu, sekarang? yaa.. hehehe.. masih sama aja. (Gubrak)

Tangga menuju ke lantai 2 rame banget sama anak basket sedang jalan menuruni tangga menuju lapangan basket untuk latihan, karena minggu depan ada latih tanding dengan SMA lain. Saat itu, Jam istirahat sudah berakhir dan jam pelajaran selanjutnya akan segera di mulai, maka gue pun berusaha mempercepat langkah menuju kelas tapi gue malah kesulitan menerobos benteng anak-anak basket yang tinggi-tinggi dan langkahnya berlawanan dari langkah gue.

(FYI) Sekolah gue termaksud selalu juara di kegiatan basket, sehingga mereka mendapat keistimewaan dari sekolah.

Hmmmm bisa bolos jam pelajaran, enaknya.. gitu fikir gue yang cupu ini saat itu, sampe asiknya dengan fikiran sendiri gue malah tabrakan sama orang, suara tabrakannya itu lumayan kenceng "Bruak" gitu deh suaranya kira-kira, kek ban bajay yang tiba-tiba lepas ketemu tembok tetangga. Mungkin dia juga kaget pas tabrakan sama gue, karena saat itu gue emang lagi meluk kamus yang tebel banget belom lagi novel yang baru gue pinjem dari perpustakaan sekolah 3 buku.

            “Adouwh.” 


Suara itu, suara cowok.  Uupss.. gaswat nih urusan, begitu fikir gue. Gue yang masih nunduk takut ngeliat wajah orang yang gue tabrak dan cuma bisa memaki dalam hati atas kecerobohan gue saat itu tapi juga yang gue syukuri saat ini karena kecerobohan gue itulah menjadi awal percakapan kami.

Ya, cowok itu.

            “Sorry.. sorry.. gue gak liat jalan”
kata gue gugup sambil tetep menunduk dan bisa gue denger helaan nafas dari cowok itu.

            “ Eh, kak.. kamu selalu bawa buku tebel-tebel ya.?”

Hah? Kak? Karena penasaran dengan wajahnya dan panggilan 'Kak' gue pandang orang yang gue tabrak itu, berasa jadi pemeran utama di film-film romantis yang sering gue tonton pas mandang orang itu (bisa jadi muka jelek gue makin jelek saat itu karena melongo dengan mulut terbuka, gue gak inget part itu saking terpesonanya).
Cowok keren (menurut gue lho ini.) badannya tinggi, kurus, rambutnya ikal dan punya lesung pipi disebelah kiri, dan ya Tuhan, manis banget senyumnya semanis gula yang di tuang pangeran Endimon ke teh chamomile buat putri Serenity saat berkunjung ke istana tuan putri.
            “ Eh, Ehem.. iya sorry yaa.. sakit gak? Tadi kena kamus gue kan ya? ”

Gue yang makin gugup susah payah menelan saliva karena tiba-tiba tenggorokan gue kering, ngebuat suara yang gue keluarin kayak cicitan burung pipit cempreng kejepit di siang bolong, kemudian gue berdeham, berharap gugup gue hilang dan berusaha tetap senormal mungkin dan tidak menunjukkan senyum cengo dengan mulut terbuka.

Aih, emak tolong kuatkanlah jantung anak mu ini. Rasanya tuh jantung gue mau mencelos dari rongganya karena yang di tanya malah senyum memamerkan gigi putih sejajar dengan taring pendek nya (gak kayak gigi gue yang berantakan kek abis di tabrak tukang becak), manis banget Tuhan kek martabak manis specialnya pak Gugun, itu lesung pipi nya melengkung sempurna. Mau meleleh kek mentega yang diolesin di atas martabak yang baru mateng waktu gue ngeliat mata puppies sama senyum manis itu. 

            “ Sakit sih, tapi gak apa-apa kok, duluan yaa ka. Hati-hati, jalannya liat depan”

Jawabnya dengan memasukkan satu tangan ke saku celana dan tangan lainnya mengacak poni gue yang sedikit nutupin kaca mata, kemudian dia berlalu melanjutkan perjalannya menuju lapangan basket.
Itu percakapan gue yang pertama dengan cowok manis itu, cowok lebih muda yang manis.
Mak, kayaknya anak mu ini punya kelainan jiwa. Karena selalu suka sama cowok yang lebih muda.



(Emak gue : "Hah?"
 Gue
           : "Bercanda mak."
 Emak gue : "Mau nyoba tes ke psikiater kak?"
 Gue
           : ". . . . . " )


 Lanjut cerita. Sejak hari itu gue ngumpulin informasi tentang cowok lebih muda itu, kayak stalker aja gue, (He he he (ketawa jahat)).
Informasi yang gue tahu yaitu dia anak kelas 10-3 anak baru yang ikut 2 klub basket dan KIR (sejenis kegiatan ilmiah gitu.) tapi belakangan yang gue tahu dia berhenti dari klub basket, sayang banget padahal gue suka ngeliat dia latihan basket dilapangan, gue suka ngeliat dia shoot three point, tapi entah kenapa gue ngerasa dia selalu tahu kalau gue lagi merhatiin dia dari lantai 2, karena gue ngerasa saat dia udah ngeshoot dan berhasil masuk dia selalu tersenyum sendiri sambil lari keliling lapangan dengan kedua tangan terbuka memamerkan perut rata nya. (ini adalah murni fikiran gue yang selalu kegeeran sendiri)

Dan Sejak hari itu pula gue selalu bersyukur kepada Tuhan, "Yaa Tuhan, terima kasih sudah menciptakan hamba sebagai perempuan dan menciptakan mata serta hati saya ini untuk mengagumi Makhluk ciptaan-Mu yang menurut hamba Mu ini Sempurna."



Kelas 12 semester 1

Gak terasa waktu cepet banget berlalu, sejak pertemuan pertama di hari itu gue gak pernah ada kesempatan buat nyapa dia, karena bener-bener grogi setiap ketemu jadi gak pernah bisa nyapa, sekalinya punya keberanian buat nyapa, rasanya kaku banget, gue bahkan berencana bikin surat cinta buat dia, eh, bukan rencana lebih tepatnya gue udah bikin surat cinta satu buku yang gak pernah gue kasih ke dia, setelah bertahun-tahun gue baca lagi, rasanya tuh kayak pake lipstick tebel warna merah menyala jalan di jalanan rumah gue yang sering kena banjir, pada saat itu gue norak banget dan malu-maluin. Untungnya gue gak pernah nyerahin surat itu.

Walau ada juga penyesalan yang tidak bisa dihapus oleh waktu.

Hari itu, sekolah udah sepi yang ada hanya bola basket dilapangan yang belum diberesin sama anak-anak yang abis main, iseng dan males pulang cepet ke rumah, gue nyoba nge-drible bola basket dan berusaha masukin bola ke keranjang basket tapi tetep gak bisa masuk bola basket nya malah ada suara serak ketawa dibelakang gue, suara seksi dari cowok manis yang pernah gue temuin sepanjang sejarah hidup gue.

            “Hey! Belom pulang?”

Pertanyaan bloon gue dibales sama senyum manisnya aja, sambil ngambil bola basket ditangan gue dia ngasih tahu gue cara ngelempar bola basket ke keranjang dan setelah dipraktekin ternyata bisa juga gue masukin itu bola basket. Sambil ketawa kayak anak kecil yang abis dikasih permen gue bilang makasih udah diajarin sama dia, aahh.. lagi-lagi dia senyum dengan senyuman itu, senyum manisnya, mungkin dia punya ade yang sifatnya mirip gue, atau ada orang yang dia suka tapi sifatnya mirip gue. Itu yang gue difikirin saat itu, sebenernya sampai saat ini pun gue masih penasaran sama perasaannya sama gue saat itu. Penasaran sampai-sampai rasanya pengen pinjem pintu Doraemon yang bisa pergi ke masa lalu.

Sejak hari itu sepulang sekolah gue selalu mampir dan nyoba masukin bola basket ke keranjang dilapangan sekolah, berharap dia ada disana dan nemenin gue lagi maen lempar bola kekeranjang basket.

Suatu hari yang terik.
Gue duduk di tepi lapangan basket sambil baca buku sejarah, karena besok ada ujian sejarah dan lagi-lagi males pulang kerumah cepet-cepet,  juga gak punya temen yang bisa hangout bareng jadi gue cuma bisa duduk dan baca buku sejarah, pelajaran yang paling gue suka. Tiba-tiba aja cowok manis itu udah duduk di samping gue sambil ikut ngebaca lembar buku sejarah yang lagi gue pangku, karena merasa ada orang di samping akhirnya gue menoleh ke arah dia dan nyapa dia dengan seulas senyum singkat yang di balas dengan pertanyaan.

            “ Besok ujian ya kak? “
            “ Iya.”

Lama kami terdiam lalu buku sejarah itu gue tutup dan gue yang penasaran tapi gak punya nyali buat bilang cuma bisa senyum mandangin wajah cowok manis yang saat ini lagi duduk di samping gue menatap nanar ke arah lapangan basket.

            “ Hei, kamu punya cewek yang disuka? “

Pertanyaan itu akhirnya meluncur bebas dari bibir gue, karena gak tahan diem-dieman dan gue beneran penasaran banget.
Kebiasaan lainnya saat bareng sama dia kalau ngomong diwajibkan pakai kata “aku-kamu” klo gue pakai bahasa “gue-elo” mukanya langsung di tekuk kayak anak kecil yang gak dikasih maenan favorit nya.

Pertanyaan gue berhasil membuat dia menoleh ke arah gue, mata kita beradu pandang selama beberapa saat, dia menatap gue dalam dan gue menatap dia penuh semangat dan rasa penasaran yang sangat-sangat kemudian dia tertawa singkat memamerkan gigi dan lesung pipinya, tawa yang biasanya sangat gue suka itu saat ini entah mengapa sangat menyebalkan. Namun, sampai saat ini gue gak pernah denger jawaban dari pertanyaan gue itu langsung dari bibirnya.

Dia menarik tangan gue ke lapangan yang panas dan ngajak gue maen lempar bola ke keranjang basket sambil nyanyi lagunya Samson yang Kenangan Terindah.

            “ Kak."

Di tengah-tengah nyanyiannya, dia menyapa gue tapi gak mau mandang ke arah gue.

            "Hmm?"

Dan gue sedang memanjakan mata gue, asik melihat sosok nya dari belakang yang sedang mengambil ancang-ancang untuk melempar bola ke keranjang basket.

            "Anak kelas 3 mulai besok ujian ya?"
Pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu membuat gue tersadar bahwa sebentar lagi gue akan lebih sulit untuk ngeliat sosok cowok manis di depan gue ini karena ujian kelulusan.


            "Iya, ujiannya mulai besok."

Jawab gue yang tidak menutupi kesedihan di suara gue karena menyadari kenyataan pahit dan berusaha menguatkan diri sendiri. 

Saat gue sibuk dengan fikiran gue sendiri, gue gak bisa ngedenger gumaman cowok di depan gue itu karena suaranya yang pelan dan suara dentuman bola yang ternyata tidak masuk ke keranjang basket malah membentur ring basket disampingnya yang membuat bola basket itu berbalik arah dan hampir mengenai muka gue kalau aja cowok itu tidak menepis bola itu dan berlari mengambil bolanya yang kemudian mendribblenya kembali sambil nyengir kembali ke tempat gue berdiri.

            "Tadi kamu bilang apa?"


Cowok itu menaikkan kedua alisnya saat mendapati pertanyaan gue, dia menggulum bibir atasnya kemudian perhatiaannya kembali menatap ring basket didepannya.           " aku bilang sukses ya ujiannya. "

Hmm? kayaknya ada yang beda dengan kalimat yang tadi gak sempet gue denger itu deh, mau gue tanyain lagi buat mastiin apa yang sebenernya tadi dia ucapin, cowok itu malah ngasih bola basket yang gak belum sempat dia lembar lagi ke gue, dia pun menyenandungkan lagu Samson itu lagi.

Saat itu gue dan khayalan gue berfikir, ‘hmm.. mungkin dia lagi ada masalah sama pacarnya atau sama orang yang dia suka karena hari itu dia gak semangat.. yaa baiklah gue temenin main lempar bola sebentar lagi’

Setelah hari itu, kita masing-masing menempuh jalan yang kita gak tahu suatu hari nanti akan jadi apa, tapi kenangan atau mimpi hari-hari sama dia akan tetap ada di hati dan fikiran gue.

Tidak ada satu jawaban buat pertanyaan gue yang bisa gue denger dari mulut dia langsung. Gue yang pengecut, gue yang bodoh dan gue yang norak. Semuanya akan tetap disimpan dan jadi kenangan kayak lagu terakhir yang kamu nyanyiin sampai sore kita ada di lapangan basket sekolah saat itu.

***

Suatu hari di hari penerimaan murid baru.

            Sekelompok anak laki-laki di koridor kelas satu bercengkrama yang suaranya terdengar oleh orang-orang sekeliling koridor sampai ke seberang koridor.

            “ Hoy Gabe! itu senior yang itu kan, yang lu suka itu kan.!”
            “ iya, manis ya.”
            “ Kelas berapa sih?”
            “ Sanah deketin, kenalan-kenalan.. masa’ gak berani”

Terdengar gelak tawa renyah dari kelompok anak laki-laki itu membuat siswa dan siswi yang ada disana termaksud seorang anak perempuan berkacamata tebal, rok lima centi diatas dengkul, dan kemeja yang kebesaran dari tubuh kurusnya, rambut yang selalu dikuncir kuda, memandang dengan rasa penasaran ingin mengetahui siapa yang membuat keributan tersebut, dan kelompok anak laki-laki yang tadi ribut itu seketika terdiam, sekilas mereka beradu pandang dengan anak perempuan itu kemudian memalingkan wajah mereka kearah lain, seperti seorang pencuri yang ketahuan mencuri. Namun, satu anak laki-laki yang berada di tengah-tengah kelompok itu masih tidak melepaskan pandangannya dari gadis itu, lalu dia tersenyum ke arahnya.
Sedangkan gadis tersebut tidak begitu jelas melihat wajah kelompok anak laki-laki itu, dan dia tidak melihat senyum manis anak laki-laki di tengah kelompok, sehingga 
gadis itu pun menambah kecepatan langkahnya menuju kelasnya di lantai 2, sambil memeluk kamus tebal lebih erat karena ada rasa tidak nyaman dan fikiran negatif yang masuk tanpa mengetuk, dia kemudian tersenyum, senyum itu lebih kepada dirinya sendiri dan berkata dalam hati bahwa bukan dia yang dimaksud mereka, mungkin orang lain, kan disebelahnya masih ada cewek cantik yang lain. Ya percakapan tersebut bukan ditujukan untuk dia.

                                                                                                                                    * The End


Rabu, 05 Maret 2014

Al-Qur’an Arista



Al-Qur’an Arista

“sebenarnya saya ‘gak mau pisah.”
kalimat itu tidak bisa saya ucap saat itu.
menyesal?
hmm..
saya fikir saat itu memang keputusan yang terbaik.
buat dia dan saya.
tapi masih ada satu rasa yang tersimpan.
entah apa.
penyesalan?
atau
penasaran?
***
Mahesa membaca lembaran pertama buku harian Arista, adik kembarnya yang kini terbaring di tempat tidur rumah sakit di daerah Jakarta Barat. Esha begitu panggilannya kini menatap lembut wajah adiknya yang seperti sedang tertidur bukan sakit, begitu tenang, begitu lembut, bibirnya seperti menyunggingkan senyum penuh damai.
Seseorang menepuk bahu Esha dan tersenyum penuh arti kepadanya.
“Shalat Isya yuk nak.”
Esha menganggukkan kepalanya dan mengikuti jejak laki-laki setengah baya yang masih terlihat gagah walau sudah terlihat rambut-rambut putih hampir diseluruh kepalanya. Dia adalah om Krisna, ayah angkatnya.
            Selesai shalat, ayahnya pamit untuk membeli makan sekalian jemput ibu dirumah katanya, Esha tetap dimushala kecil rumah sakit, selesai dzikir Esha kembali membuka buku harian Arista dan larut didalam dunia yang dilihat dari sudut pandang seorang gadis yang wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan dirinya.
***
Desember, 17 2012
Alhamdulillah,
hari ini umurku berkurang lagi.
hehe.. (^_^,.) v
ini buku harian pertama aku dari abang kembaranku.
waktu nerimanya rasanya
 ‘apa ‘gak terlalu kekanak-kanakan ya?’
tapi pura-pura tersenyum seneng
‘gak dosa kan?
ssstt..
jng blg2 yaa diary.

Esha tersenyum membaca kalimat jenaka dari adiknya namun, air mata mengalir setetes demi setetes mengingat kenangan saat ulang tahun pertama mereka bersama-sama.
***
16 Desember 2012
Mahesa kelas 2 SMA.
Hari ini rasanya waktu lama banget, matahari sedang tidak bersahabat tapi didalam mall rasanya adem banget.
“Nyari apaan sih Sha lama amet mikirnya?”
“Diem aje napah.”
“Jiaahh.. betawinya keluar. Hahaha..”
Ini namanya Dodo. Dia sahabat jawa saya yang paling baik sekaligus ‘pembuangan akhir’ alias tukang makan. Haha.
“Buat kembaran lu ya Sha?”
Saya dengan terpaksa menganggukkan kepala karena udah pusing ‘gak tau mau beli apaan. Besok ulang tahun pertama kami, mau nya ngasih sesuatu yang bisa dipakai terus dan ‘gak abis sampe kapan pun.
“Beli Diary aja nih Sha. Yang begini.”
Dodo menyodorkan sebuah buku harian warnanya pink ada gambar princess Ariel sama pangerannya. Tapi kok disitu ada diary yang keren.
“Otak lu kadang-kadang encer juga Do.”
“Hehe iya dong.”
“Lu minggir dulu dong Do, makan tempat banget tuh badan.”
Dodo memiringkan badannya dan hampir merubuhkan rak stationary di belakangnya. Saya pun membeli diary yang menurut saya keren itu.
“’gak beli yang ini aja Sha?”
Dodo-dodo masih aja nunjuk-nunjuk diary princess. Emang dia kira ade saya bocah lima tahun. Ehem pengen cepet-cepet besok rasanya. Yey.
Kalo diinget-inget waktu itu masuk ke toko khusus wanita. Barang-barang yang lucu-lucu, pernak-pernik yang semuanya serba pink. Begitu keluar bareng Dodo dari toko itu malah diliatin sama pengunjung yang lain. Pantes aja mbak-mbak yang ada dikasir juga ngeliat sambil senyum-senyum. Eeitt.. saya bukan maho. Malu-malu.. cepet-cepet aahh jalannya.
***
17 Desember 2012
Ruang tamu
Hari ini ‘gak ada dekor ulang tahun kayak anak kecil, tapi balon sepertinya wajib ada.
Hari ini saya dan Arista berulang tahun ke tujuh belas.
Saat itu Arista pake gamis warna putih bling-bling beserta jilbab yang menutupi dada, rapih, tertutup tapi ‘gak menghilangkan kecantikan diwajahnya yang berseri-seri habis shalat dhuha. Saya malu karena masih belum bisa seperti dia, tapi ada tersirat rasa kagum dan bangga melihat kembaran yang saya seperti bercermin itu.
Yang datang ke acara ulang tahun kami ada ayah, ibu, bapak, dan Dodo. Arista cuma pengen bareng keluarga katanya ngerayaiin moment special itu. Dodo dihitung keluarga karena saya sudah menganggap Dodo seperti sodara saya sendiri walau dia kadang ngeselin.
Yang ‘gak bisa saya lupa adalah ekspresi Arista saat nerima kado dari saya, dia terlihat senang waktu menerimanya tapi tidak terlalu antusias untuk membuka kado tersebut ada perasaan bingung disana, apalagi saat dia mengetahui isi dari kado tersebut. Diary berwarna coklat dari kulit yang halus sekali bila disentuh, Arista mengernyitkan kening lalu tersenyum penuh kebahagiaan.
“Terima kasih ya abang. Insya Allah Arista bakal rajin nulis. Oia, Arista juga punya kado buat abang.”
Sebenarnya saya tidak bermaksud untuk menyindir ade ku yang cantik itu karena dia jarang nulis surat kepada saya disini. Tapi saya juga cukup penasaran saat Arista bilang kalo dia juga punya hadiah. Arista kembali kekamarnya cukup lama dan saat kembali ke ruang tamu Arista menyerahkan bungkusan yang dilipat menggunakan salah satu jilbabnya, saya terkejut saat melihat isi dari hadiah tersebut, ternyata itu adalah kitab suci Al-Qur’an.
“Arista belum bisa beliin abang hadiah mahal. Tapi ini punya Almarhumah emak, kata
bapak Al-Qur’an ini mahar untuk emak, ini satu-satunya harta berharga punya Arista,
sekarang ini punya abang”
Subhanallah, saya tidak pernah meneteskan air mata didepan banyak orang, rasanya malu tapi bangga kepada adikku yang begitu bersahaja dan sangat cantik. Kami bagaikan pinang dibelah dua, begitu yang dibilang banyak orang, tapi ternyata pada saat bercerminpun kami memiliki begitu banyak perbedaan.
***
Diary,
aku ‘gak punya kado khusus buat abang kembarku itu.
jadi aku kasih al-qur’an dari almarhum emak.
semoga bermanfaat.
aamiin yaa ALLAH S.W.T
**SELESAI**